Tahapan Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia
- ELC & CONSULTANT
- Jan 27, 2021
- 13 min read
Terdapat beberapa tahap dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia, yaitu:
1. Penyelidikan dan Penyidikan
2. Penahanan dan penangkapan
3. Penggeledahan dan penyitaan
4. PraPenuntutan dan Penuntutan

1. PENYELIDIKAN & PENYIDIKAN
1. Penyelidikan
Penyelidikan diatur dalam pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Prof. Dr. Jur Andi Hamzah adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidak dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka penyelidikan ini maksudnya adalah tahap pertama yaitu dengan mencari kebenaran.
2. Penyidikan
Berdasarkan pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti. Dengan bukti itu akan membuat terang tindak pidana yang yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi Hak Asasi Manusia (HAM). Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
Ketentuan tentang alat-alat penyidik
Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik
Pemeriksaan di tempat kejadian
Pemanggilan tersangka atau terdakwa
Penahanan sementara
Penggeledahan
Pemeriksaan atau interogasi
Berita acara yaitu: penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat
Penyitaan
Penyampingan perkara
Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan
2. PENANGKAPAN & PENAHANAN

1. Penangkapan
Pasal 16 KUHAP mengatur tentang penangkapan. Menurut Prof. Dr. Jur Andi Hamzah Sering terjadi kerancuan antara pengertian penangkapan dan penahanan. Penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris), sedangkan penahanan sejajar dengan detention (Inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan bisa saja dilakukan semua orang dan berlangsung hanya sebentar dengan ditangkapnya tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor polisi atau kantor penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika memang delik yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka tersangka dapat ditahan.
Berdasarkan Pasal 1 butir 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) definisi penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Jika definisi pasal 1 butir 20 dibandingkan dengan pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang penangkapan, maka tidak cocok karena pasal 16 mengatakan sebagai berikut:
Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Tidak cocok karena ternyata bukan saja penyidik yang dapat melakukan penangkapan akan tetapi penyelidik juga dapat melakukan penangkapan. Bahkan setiap orang dalam hal tertangkap tangan dapat melakukan penangkapan. Juga alasan penangkapan, ternyata bukan saja untuk kepentingan penyidikan tetapi juga untuk kepentingan penyelidikan. Jadi definisi tersebut tidak cocok dan perlu diperbaiki.
2. Penahanan
Pasal 1 angka 21 KUHAP mengatur tentang penahanan. Menurut Prof. Dr. Jur Andi Hamzah penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.
Menahan seseorang berarti orang itu diduga keras telah melakukan salah satu delik tercantum dalam pasal 21 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menjadi pertanyaan sekarang ialah, apakah penahanan dapat dilakukan demi untuk kepentingan keamanan tersangka sendiri. Karena jika tersangka di luar tahanan maka dikhawatirkan keselamatan jiwanya.
Untuk jelasnya, dikutip di sini bunyi pasal 21 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut:
“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal ini:
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
Tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 282 ayat 3, pasal 296, pasal 335 ayat 1, pasal 351 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal 378, pasal 379a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 25 dan pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai, terakhir diubah dengan staatsblad tahun 1931 nomor 471), pasal 1, pasal 2, dan pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat 7, pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47, dan pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Nomor 3086)
Rincian penahanan dalam hukum acara pidana indonesia sebagai berikut:
Penahanan oleh Penyidik atau Pembantu Penyidik selama 20 hari
Perpanjangan oleh Penuntut Umum selama 40 hari
Penahanan oleh Penuntut Umum selama 20 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari
Penahanan oleh Hakim Pengadilan Negeri selama 30 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 60 hari
Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi selama 30 hari
Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari
Penahanan oleh Mahkamah Agung selama 50 hari
Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung selama 60 hari
3. PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN

1. Penggeledahan
Penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang. Dalam KUHAP penggeledahan dibedakan menjadi Penggeledahan Rumah dan Penggeledahan Badan, Pasal 1 angka 17 KUHAP menyebutkan “Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut caranya yang diatur dalam undang-undang ini”. Pasal 1 angka 18 KUHAP menyebutkan “Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.”
Tata cara penggeledahan sendiri telah diatur di dalam KUHAP pada Pasal 33 sampai Pasal 37. Berdasarkan Pasal 33 Ayat (1) KUHAP, pada dasarnya penggeledahan dapat dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Sebelum melakukan penggeledahan, penyidik lebih dahulu meminta surat izin Ketua Pengadilan Negeri dengan menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan penggeledahan bagi keperluan penyelidikan atau penyidikan. Tujuan dari adanya surat izin Ketua Pengadilan Negeri dalam tindakan penggeledahan rumah ini tentu untuk menjamin hak asasi seseorang atas rumah kediamannya.
Pasal 34 KUHAP mengatur juga tentang penggeledahan dalam keadaan mendesak, dalam hal ini penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal mendesak ini dilakukan jika di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan.
2. Penyitaan
Pasal 1 angka 16 menyebutkan “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.” Selain diatur dalam Pasal 1 angka 16 KUHAP, penyitaan dan benda sitaan juga diatur dalam Pasal 38-46 KUHAP, Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP dalam konteks Praperadilan, Pasal 128 s/d 130 KUHAP, Pasal 194 KUHAP, dan Pasal 215 KUHAP.
Dalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP menyebutkan, “penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.” Tujuannya tentu agar tindakan penyidik ini tidak melanggar Hak Asasi Manusia karena tindakan penyitaan termasuk dalam salah satu upaya paksa (dwang middelen). Namun Pasal 38 Ayat (2) KUHAP juga membolehkan penyidik melakukan penyitaan tanpa surat izin Ketua Pengadilan Negeri Setempat, hal ini hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, tetapi penyidik hanya dapat melakukan penyitaan terhadap benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan.
Pasal 39 KUHAP menyebutkan benda-benda apa saja yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu:
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;
Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
4. PRAPENUNTUTAN DAN PENUNTUTAN

1. PraPenuntutan
Dalam ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan PraPenuntutan. Istilah prapenuntutan hanya ditemui dalam Pasal 14 huruf b KUHAP yang berbunyi “Penuntutan umum mempunyai wewenang mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan Pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.”
Pengertian prapenuntutan dapat dibaca dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 16 Tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut: “Pra Penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan”.
Pengertian prapenuntutan menurut Prof. Andi Hamzah, pra penuntutan merupakan tindakan Penuntut Umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik.
Ruang Lingkup
Mengikuti perkembangan penyidikan.
Melakukan koordinasi dengan penyidik terhadap penyidikan perkara tertentu.
Memberikan perpanjangan penahanan.
Menerima dan meneliti kelengkapan berkas perkara.
Memberi petunjuk guna melengkapi berkas perkara,
Meneliti sah tidaknya penghentian penyidikan.
Menerima tanggung jawab tersangka dan barang bukti.
Melakukan pemeriksaan tambahan.
Membuat konsep rencana dakwaan.
Proses PraPenuntutan
Proses prapenuntutan itu meliputi 3 (tiga) tahap, yakni:
Setelah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP);
Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan (tahap pertama);
Penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap kedua).
Pra penuntutan merupakan penelitian berkas perkara dari Penyidik oleh Penuntut Umum yang terdiri dari penelitian terhadap syarat formil dan syarat materiil. Kelengkapan syarat formil menyangkut kelengkapan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, yaitu seperti laporan Polisi, surat pengaduan, surat perintah penyidikan, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, surat perintah penyitaan, surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan, surat perintah penggeledahan, dan lain-lain.
Untuk melaksanakan surat perintah di atas, diterbitkan berita acara, seperti berita acara pemeriksaan saksi, berita acara pemeriksaan tersangka, berita acara pemeriksaan surat, berita acara pemeriksaan ahli, berita acara penyitaan barang bukti, berita acara penggeledahan. Selain itu diteliti pula surat izin Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penyitaan, penggeledahan dan penelitian administrasi lainnya.
Penelitian kelengkapan materiil meliputi antara lain:
Kejelasan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka dan modus operandinya.
Penguraian unsur tindak pidana dari pasal yang disangkakan.
Kejelasan waktu terjadinya tindak pidana (tempus delicti).
Kejelasan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti).
Kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang tercantum dalam berkas perkara, dan pertanggungjawaban tersangka menurut hukum pidana.
Serta yang terakhir adalah kewenangan pengadilan mengadili perkara yang diteliti ( kompetensi relatif dan absolut).
Pada saat tersangka dan barang bukti diserahkan ke Kejaksaan (penyerahan tahap kedua), Penuntut Umum melakukan penelitian terhadap identitas tersangka, meneliti barang bukti sesuai dengan surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri dan berita acara penyitaan barang bukti / alat bukti dari Penyidik. Terhadap barang bukti yang disegel, dibuka segelnya lalu diperiksa dihadapan Penyidik, sedangkan terhadap barang bukti uang harus dihitung kembali di depan Penyidik dan jumlah nominalnya, jumlah lembarannya dan identitas lainnya.
Dari uraian penjelasan di atas, dalam proses prapenuntutan diperlukan kehati-hatian dan profesionalisme dari Penuntut Umum dalam melakukan penelitian terhadap hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik baik itu kelengkapan formil maupun kelengkapan materiil karena kelengkapan hasil penyidikan sangatlah menentukan keberhasilan penuntutan, oleh karena itu Penuntut Umum harus benar-benar teliti dan jeli dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara. Apabila Penuntut Umum kurang cermat dalam mempelajari dan meneliti berkas perkara, maka kekurang lengkapan hasil penyidikan yang lolos dari penelitian akan menjadi kelemahan dan merupakan “cacat” yang akan terbawa ke tahap penuntutan, sehingga dengan sendirinya hal itu merupakan kelemahan pula dalam melakukan penuntutan perkara yang bersangkutan.
Apabila Penuntut Umum telah menyatakan bahwa hasil penyidikan telah lengkap, kemudian ternyata bahwa masih ada hal-hal yang belum lengkap, maka kekurangan tersebut tidak dapat dilengkapi lagi karena apabila Penuntut Umum telah menyatakan lengkap, atau dalam batas waktu empat belas hari tidak mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik, maka penyidikan dianggap selesai.
Fungsi PraPenuntutan
Fungsi prapenuntutan adalah sebagai jembatan antara fungsi penuntutan dan penyidikan, dimana hasil akhirnya adalah untuk mempersiapkan dan menentukan apakah suatu berkas perkara layak atau tidak untuk diajukan di Pengadilan untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim dalam persidangan.
2. Penuntutan
Secara Yuridis
Penuntutan secara yuridis adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang di atur dalam undang-undang ini, dengan permintaan supaya diperiksa dan di putus oleh Hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka secara teknis yuridis, penuntutan dimulai dengan melimpahkan perkara ke pengadilan oleh penuntut umum.
Secara Administratif
Penuntutan sudah dimulai sejak diterimanya penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (penyerahan tahap II) dimana berkas perkara, tersangka dan barang bukti telah dimasukkan dalam buku register perkara (RP.9). Sejak saat itulah perkara sudah berada dalam tahap penuntutan, meskipun penuntut umum belum melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.
Dengan mengacu kepada pengertian penuntutan di atas, maka pengertian penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan di putus oleh hakim di sidang pengadilan.
Ruang Lingkup Penuntutan
Sesuai dengan pengertian Penuntutan yang dianut secara administratif berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001, maka penuntutan terhitung sejak penerimaan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (Penyerahan Tahap II) dan setelah dicatat dalam Register Perkara (RP-9), Register Barang Bukti (RB-1) dan Register Tahanan (RT 17).
Oleh karena itu ruang lingkup penuntutan, meliputi:
a. Pemeriksaan Tambahan
KUHAP tidak mengatur secara eksplisit ketentuan terkait pemeriksaan tambahan, meskipun dengan membaca ketentuan terkait penelitian berkas perkara hingga dinyatakan lengkap, dalam Pasal 138 KUHAP yang menyatakan,
“(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum; (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.”
Hal Penting yang Harus Diperhatikan Dalam Pemeriksaan Tambahan:
a. Apabila pemeriksaan tambahan tidak dilaksanakan, maka alat bukti tidak dapat dikumpulkan secara optimal;
b. Pemeriksaan tambahan dilaksanakan atas usul JPU P-16, apabila syarat-syaratnya terpenuhi dan setelah mendapat persetujuan Kepala Kejaksaan Negeri;
c. Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti sehingga ada penilaian bahwa sudah terdapat fakta yang dapat meyakinkan Hakim.
Syarat atau Kondisi Kapan Pemeriksaan Tambahan Dilakukan
Pemeriksaan tambahan dilaksanakan apabila masih dalam batas waktu 14 hari penyidikan tambahan sejak diterimanya pengembalian berkas perkara (BP) dengan petunjuk (P-19) kedua, Penyidik mengembalikan BP, namun pada P-19 kedua itu pun Penyidik belum dapat memenuhi baik sebagian atau seluruh petunjuk JPU P-16.
b. Praperadilan
Fungsi dan Letak Praperadilan Secara Administratif dan Yuridis Pemeriksaan
Praperadilan dilakukan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sebagaimana dalam pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan Tersangka, penggeledahan dan penyitaan (vide Putusan MK No. 21/PUU-XII/2012 tanggal 28 Oktober 2014), ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
c. Penerimaan dan Penelitian Tersangka (tahap II), Pasal 8 ayat (3) KUHAP
Prosedur Penerimaan dan Penelitian Tersangka:
JPU P-16A meneliti tersangka yang dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Dan Penelitian Tersangka (Tahap II) (BA-4);
JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penahanan status penahanan. Nota pendapat berisi pendapat JPU P-16A untuk melanjutkan penahanan atau tidak dilakukan penahanan;
JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat kepada Kasubsi Penuntutan untuk diberikan saran/pendapat dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) untuk memberikan pendapat;
Kasubsi Penuntutan mencatat nota pendapat JPU P-16A dalam Register Perkara Tahap Penuntutan (RP-9);
Kajari apabila menyetujui penahanan terhadap tersangka, kemudian mendisposisi Kasi Pidum untuk membuat konsep Surat Perintah Penahanan/Pengalihan Jenis Penahanan (T-7) dan kepada JPU P-16A untuk membuat Berita Acara perintah penahanan/penahanan lanjutan (BA-7) atau Berita Acara pelaksanaan pengalihan jenis penahanan (BA-8);
T-7 dengan tembusan Ketua PN akan didistribusikan bersamaan dengan pelimpahan BP;
Kasubsi Penuntutan kemudian mencatat T-7 pada Register tahanan tahap penuntutan serta mengkompulir T-7 beserta BA-4 dan Nota Pendapat Penahanan yang telah disetujui Kajari untuk diserahkan kepada JPU P-16A sebagai bagian dari bendel berkas perkara;
JPU P-16 menggandakan BA-7 atau BA-8 serta Surat Dakwaan (P-29) masing-masing sebanyak 1 (satu) rangkap untuk persiapan pelimpahan perkara.
d. Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti (tahap II)
Prosedur Penerimaan dan Penelitian Barang Bukti:
JPU P-16A meneliti benda sitaan/barang bukti yang dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Dan Penelitian Benda Sitaan/Barang Bukti (BA-5). Setelah itu diserahkan kepada Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB). Dalam hal penelitian barang bukti, JPU P-16A dapat dibantu oleh Kasubsi Tut:;
Kasubsi Barang Bukti (Kasubsi BB) kemudian mencatat BA-5 dalam register barang bukti serta menyerahkannya kepada Kasi Barang Bukti dan Barang Rampasan (Kasi BB BR);
Kasi BB BR kemudian membuat konsep analisis rantai pengelolaan dan penyelesain (chain of custody) benda sitaan/barang bukti/ temuan/rampasan yang kemudian diserahkan kepada JPU P-16A untuk diberi pendapat, serta Kasi Pidum untuk memperoleh saran, selanjutnya Kajari untuk memberikan petunjuk;
Kasubsi BB kemudian menyerahkan BA-5 kepada JPU P-16A untuk dikompilir dengan Berkas Perkara (BP);
JPU P-16 A menggandakan BA-5 untuk persiapan pelimpahan perkara.
e. Penangguhan Penahanan
Prosedur Penangguhan Penahanan:
Setelah menerima surat permohonan penangguhan penahanan, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) mendisposisi JPU P-16A untuk membuat nota pendapat mengenai penangguhan penahanan
JPU P-16A membuat nota pendapat mengenai penangguhan penahanan
Nota pendapat JPU P-16A mengenai penangguhan penahanan
JPU P-16A kemudian menyerahkan nota pendapat mengenai penangguhan penahanan kepada Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) untuk meminta saran/pendapat, lalu meneruskannya kepada Kajari
Kajari memberikan pendapat setuju atau tidak setuju.
Apabila Kajari memberikan pendapat setuju, sekaligus mendisposisi Kasi Pidum untuk membuat Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8)
Setelah Surat perintah penangguhan penahanan/pengeluaran dari tahanan/pencabutan penangguhan penahanan (T-8) ditandatangani oleh Kajari, Kepala Sub Seksi Penuntututan (Kasubsi Tut) mencatat nomor dan tanggal T-8 pada Register tahanan tahap penuntutan (RT-3)
Setelah T-8 beserta nota pendapat mengenai penangguhan penahanan dan surat permohonan penangguhan penahanan diserahkan oleh Kasubsi Tut kepada JPU P-16A, maka JPU P-16A membuat dan menandatangani Berita acara pelaksanaan perintah penangguhan penahanan (BA-9) dan Berita acara pelaksanaan perintah pengeluaran dari tahanan (BA-10)
JPU P16A kemudian dibantu oleh Pengawal Tahanan mengeluarkan Tersangka dari tahanan serta menyerahkan BA-9 dan BA-10 kepada Kepala Rutan dan Tersangka untuk ditandatangani
Menyertakan Berkas Perkara (BP) dengan T-8, BA-9, BA-10, surat permohonan penangguhan penahanan dan nota pendapat mengenai penangguhan penahanan (menjadi satu kelengkapan dengan seluruh administrasi penanganan perkara dalam kompilir berkas perkara)
f. Pembantaran Penahanan
Pembantaran penahanan yaitu penahanan yang dilakukan kepada tersangka yang sakit dan perlu dirawat inap di rumah sakit dengan ketentuan jangka waktu tersangka menjalani rawat inap tersebut tidak dihitung sebagai masa penahanan.
g. Pelimpahan perkara ke Pengadilan
Pengalihan perkara ke pengadilan ini dilakukan setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik. Demikian juga pada acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan, penyidik langsung menghadapkan terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan.
h. Penghentian Penuntutan
Mengenai penghentian penuntutan diatur dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan bahwa penuntut umum ”dapat menghentikan penuntutan” suatu perkara. ... (2) KUHAP di atas berarti hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan.
i. Pemanggilan saksi, ahli, terdakwa, terpidana tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
Pemeriksaan Saksi (Pasal 159 S/d 174 KUHAP). Menjadi saksi merupakan salah satu kewajiban setiap orang, menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku (penjelasan Pasal 159 (2) KUHAP). Namun menurut Pasal 168 KUHAP, tidak dapat didengar dan dapat mengundurkan diri dari kewajiban menjadi saksi yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas, ke bawah atau kesamping sampai dengan sederajat ketiga dari terdakwa atau yang sama-sama sebagai terdakwa (ayah, ibu, kakak, nenek, buyut, anak, cucu, cicit, paman, bibi, keponakan dan saudara dari terdakwa baik dari garis keturunan ibu maupun dari garis keturunan ayah)
b. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang sama-sama sebagai terdakwa.
Pemeriksaan Ahli Orang yang diminta pendapatnya Sebagai ahli wajib datang memberikan keterangan di sidang sekalipun di penyidikan ia telah memberikan keterangan baik di depan penyidik dalam bentuk BAP ahli maupun dalam bentuk ”laporan ahli". Yang dapat memberikan keterangan Sebagai ahli ialah seorang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana.
Pemeriksaan Surat dan Barang Bukti fungsi barang bukti diajukan ke sidang pengadilan adalah untuk:
a. Memberi status terhadap barang bukti tersebut.
b. Untuk dijadikan alat bukti. Oleh sebab itu surat atau barang bukti yang tidak diajukan ke sidang pengadilan tidak akan dipertimbangkan hakim dalam putusannya.
Penulis:
Adityo Saputra (ELC & CONSULTANT Team)
Nurulainni Triagustin (ELC & CONSULTANT Team)
Assyifa Umaiya Umar (ELC & CONSULTANT Team)
Editor:
Nofita R.
Sumber:
Buku Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua karangan Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah
Buku M. Yahya Harahap “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan”
Buku Prof. Dr. Andi Hamzah “Hukum Acara Pidana Indonesia” Penerbit: Sinar Grafika, Tahun 2009.
Hukum Acara Pidana Indonesia. Penulis: Prof. Dr. Andi Hamzah. Penerbit: Sinar Grafika. Tahun 2008.
http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/bfec43987fb688576294d322957c17ac.pdf
Foto: Eko Herwantoro
Comments