Tindak Pidana (Strafbaar Feit)
- ELC & CONSULTANT
- Nov 1, 2020
- 4 min read
Hukum pidana berpokok pada perbuatan yang dapat dipidana. Perbuatan yang dapat dipidana ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, dan
2. Orang yang melanggar larangan itu.

Istilah
Tindak pidana merupakan suatu pengertan dasar dalam hukum pidana. Istilah tidak pidana dipakai sebagai pengganti strafbaar feit. Dalam bahasa Indonesia isitilah Strafbaar feit ini berasal dari bahasa Belanda “Strafbaar feit”. Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan maupun tindakan.
Dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Dalam peristilahan di Indonesia, Strafbaar Feit ini telah diterjemahkan oleh para sarjana dan juga telah digunakan dalam berbagai perumusan undang-undang dengan berbagai istilah seperti: Perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana.
Dengan demikian, strafbaar feit, delik, dan delictum memiliki padanan istilah yang sama dengan perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.
Pengertian
Prof. Muljatno yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana pada Universitas Gajah Mada memilih menerjemahkan Strafbaar feit sebagai perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, dalam pengertian perbuatan pidana tersebut Moeljatno tidak menyinggung mengenai kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Selain itu dalam pidatonya beliau membedakan dengan tegas “dapat dipidananya perbuatan” dan “dapat dipidananya orangnya”, dan sejalan dengan ini beliau memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” dan “pertanggungjawaban pidana”.
Moeljatno membagi pandangan terhadap perbuatan pidana yaitu,
Pandangan Monistis yang menyatukan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan
Pandangan Dualisits yang memisahkan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana.
Ahli hukum pidana Belanda Enschede memberikan definisi perbuatan pidana sebagai berikut een menselijke gedraging die valt binnen de grenzen van delictsomschrijving, wederrecehtelijk is en aan schuld te wijten (Kelakukan manusia yang memenuhi rumusan delik, melawan hukum, dan dapat dicela). Definisi sederhana ini telah mencakup perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Kelakuan manusia yang memenuhi rumusan delik berkaitan dengan perbuatan pidana, sedangkan melawan hukum dan dapat dipidana berkaitan dengan kesalahan sebagai unsur mutlak pertanggungjawaban pidana.
Jonkers memberikan definisi perbuatan pidana menjadi definisi singkat dan definisi luas. Definisi singkat menurut Jonkers, Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana, sedangkan definisi luas perbuatan pidana adalah suatu perbuatan dengan sengaja atau alpa yang dilakukan dengan melawan hukum oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam definisi singkat Jonkers sama sekali tidak menyinggung mengenai pertanggungjawaban, berbeda dengan definisi luas perbuatan pidana ini juga mencakup pertanggungjawaban pidana.
Simons memberi arti bahwa perbuatan pidana sebagai perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang tersebut dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Berdasarkan define dari Enschede, Jonkers, dan Simons menyatakan bahwa perbuatan pidana itu meliputi perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Namun ada ahli hukum pidana lain yang mendifinisikan perbuatan pidana ini tidak meliput pertanggungjawaban pidana, antaralain adalah Vos dan Hazewinkle Suringa. Menurut Vos perbuatan pidana adalah een menselijke gedraging, waarop door wet straf is gesteld (Perbuatan pidana adalah kelakukan manusia yang oleh undang-undang pidana diberi hukuman). Sedangkan menurut Hazwinkle Suringa, perbuatan pidana adalah sebuah istilah yang diberikan untuk setiap kelakukan perbuatan yang diancam pidana atau dapat berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terdiri dari kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran. Dengan kata lain, perbuatan yang tergolong tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam hukum yang dapat diancam dengan sanksi pidana.
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Setelah mengetahui terkait definisi dari tindak pidana, perbuatan pidana diatas maka selanjutnya yang akan dibahas mengenai unsur-unsur tindak pidana atau elemen-elemen perbuatan pidana. Sebagaimana dikemukakan oleh D. Schaffmeister, N. Keijzer dan Mr. E. PH. Sutorius bahwa:
"Tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhkan pidana kalau perbuatan itu tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperlikan dua syarat: perbuatan itu bersifat melawan hukum dan dapat dicela”
Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur atau elemen-elemen yang dapat dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Moeljatno berpendapat bahwa unsur-unsur atau elemen-elemen perbuatan pidana adalah sebagai berikut:
Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Unsur melawan hukum objektif
Unsur melawan hukum subjektif.
Unsur perbuatan pidana yang lebih sederhana dikemukakan oleh Shaffmeister, Keijzer, dan Sutorius yang menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana itu terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan hukum dan dapat dicela. Unsur perbuatan pidana yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut dapat dismpulkan bahwa elemen memenuhi unsur delik identik dengan perbuatan pidana itu sendiri sedangkan gabungan elemen melawan hukum dan dapat dicela ini melahirkan suatu pertanggungjawaban pidana.
*Dalam banyak literatur seringkali istilah perbuatan pidana ini diganti dengan menggunakan istilah delik, sehingga ketika kita membicarakan mengenai unsur-unsur delik maka sama saja kita membicarakan mengenai unsur-unsur perbuatan pidana. Pembahasan terkaiit unsur-unsur dan jenis-jenis delik akan dibahas lebih lanjut dalam artikel berikutnya.
Sumber: Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakri, 1997), hal. 181. Prof. Sudarto, S.H., “Hukum Pidana I: Edisi Revisi”, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 2013), hal. 66. Eddy O.S Hiariej. “Prinsip-prinsip Hukum Pidana: Edisi Revisi”, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hal. 122. Ibid. hal.123. Ibid, hal.128.
Penulis: Nurullianni Agustin (ELC & Consultant Team, Criminal Law Division)
Editor: Nofita Rahma Y.
Comentários